JAKARTA, ViralKata.com – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengakui industri pariwisata Indonesia, belakangan tumbuh pesat. Terbukti, Data World Travel and Tourism Council (WTTC) mencatat Indonesia masuk top-30 Travel and Tourism Countries Power Ranking pada pertumbuhan absolut periode 2011 dan 2017.
Merilis data itu, ada empat indikator perjalanan dan pariwisata utama menunjukkan Indonesia di posisi nomor 9 sebagai negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat di dunia. Sementara China, Amerika Serikat, dan India menempati posisi tiga besar. Di kawasan Asia, Indonesia berada nomor 3 setelah China dan India.
Di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia terbaik diantara negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand (Nomor 12), Filipina dan Malaysia (13), Singapura (16) dan Vietnam (21).
“Di balik itu semua, industri pariwisata Indonesia sangat rentan terhadap bencana. Karena itu wisatawan harus waspada, hati-hati,” saran Kepala Pusat Data dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulis, Kamis (17/1).
Apalagi, sambung Sutopo, kini dikembangkan 10 Bali Baru atau 10 destinasi pariwisata prioritas yaitu Danau Toba, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu dan Kota Tua, Borobudur, Bromo Tengger Semeru, Wakatobi, Mandalika, Morotai dan Labuan Bajo dengan investasi sangat besar yaitu Rp 500 trilyun.
“Faktanya 8 dari 10 daerah prioritas pariwisata itu berada pada daerah yang rawan gempa, dan sebagian tsunami. Untuk itu, koordinasi perlu dilakukan dengan berbagai pihak. Bahkan hendaknya mengkaitkan mitigasi dan pengurangan risiko bencana sehingga daerah pariwisata tersebut aman dari bencana,” sarannya.
Jika tidak dikelola dengan baik, lanjut dia, bencana bisa mempengaruhi ekosistem pariwisata dan pencapaian target kinerja pariwisata tak akan tercapai.
BNPB mencatat, beberapa kejadian bencana menyebabkan dampak ke industri pariwisata, antara lain: Pertama, erupsi Gunung Merapi tahun 2010, telah mengakibatkan penurunan jumlah kunjungan wisatawan di beberapa obyek wisata di Yogyakarta dan Jawa Tengah mencapai hampir 50%.
Kedua, bencana kebakaran hutan dan lahan pada Agustus hingga September 2015 menyebabkan 13 bandara tidak bisa beroperasi karena jarak pandang pendek dan membahayakan penerbangan. “Bandara harus tutup, berbagai event internasional ditunda, pariwisata pun tertekan. Industri airline, hotel, restoran, tour and travel, objek wisata dan ekonomi yang di-drive oleh sektor ini pun terganggu,” ungkapnya.
Ketiga, Erupsi Gunung Agung di Bali tahun 2017 menyebabkan 1 juta wisatawan berkurang dan kerugian mencapai Rp 11 trilyun di sektor pariwisata. Keempat, Gempa Lombok yang beruntun pada tahun 2018 menyebabkan 100.000 wisatawan berkurang dan kerugian Rp 1,4 trilyun di sektor pariwisata.
Kelima, Tsunami di Selat Sunda pada (22/12/2018) menyebabkan kerugian ekonomi hingga ratusan miliar di sector pariwisata. Bencana menyebabkan efek domino berupa pembatalan kunjungan wisatawan hingga 10 persen. Sebelum dilanda tsunami, tingkat hunian atau okupansi hotel dan penginapan di kawasan wisata Anyer, Carita, dan Tanjung Lesung mencapai 80–90 persen.
“Ini menjadi menjadi pembelajaran bagi kita semua. Mitigasi, baik mitigasi struktural dan non struktural di kawasan pariwisata masih sangat minim. Mitigasi bencana harus ditempatkan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan sektor pariwisata,” pintanya.
Bahkan mitigasi dan pengurangan risiko bencana hendaknya ditempatkan sebagai investasi dalam pembangunan pariwisata itu sendiri. Sebab, dalam proses pembangunan setiap US$ 1 yang diivestasikan untuk pengurangan risiko bencana maka dapat mengurangi kerugian akibat bencana sebesar US$ 7, papar Sutopo.
Sutopo meminta penataan ruang dan pembangunan kawasan pariwisata hendaknya memperhatikan peta rawan bencana sehingga sejak perencanaan hingga operasional dari pariwisata itu sendiri selalu mengkaitkan dengan ancaman bencana yang ada.
Menurutnya Bencana adalah keniscayaan. Pasti terjadi karena bencana memiliki periode ulang, apalagi ditambah faktor antropogenik yang makin meningkatkan bencana. Jika tidak diantisipasi dengan baik, traget devisa tahun 2019 sebesar US$ 20 Miliar pun terancam gagal dicapai. (B3)