![](https://www.viralkata.com/wp-content/uploads/2018/12/GG.jpg)
JAKARTA, ViralKata.com – Pemilihan umum (pemilu) 2019 di depan mata. Pesta demokrasi, baik Pilpres maupun Pileg dinodai dengan pola kampaye tidak wajar, tidak mendidik. Buktinya, beda pilihan saling menyerang dengan mengeluarkan kata-kata tidak pantas. Ujung-ujung saling lapor ke polisi karena merasa dilecehkan, pencemaran nama baik, penghiaan, serta fitnah.
Berita hoax juga marak dengan tujuan saling menjatuhkan. Berbagai isu belum tentu kebenarannya bermunculan. Tak peduli isu itu sangat merugikan orang lain. Kebenaran urusan belakang, yang penting isu untuk menjatuhkan lawan tersebar di masyarakat, lontar pengamat Kamtibmas, Gardi Gazarin dalam keterangan tertulis, Sabtu (15/12/2018).
Apalagi, lanjut wartawan senior ini, Pola kampaye yang terjadi saat ini terkesan lebih mementingkan kekuasaan, bukan kepentingan nasib masyarakat ke depan. Kampanye-kampanye nyinyir dengan kata-kata ‘tempe’, ‘genderewo’, ‘cebong’, ‘kampret’, ‘sontoloyo’, ‘buta-tuli’. Apa yang mereka-mereka lakukan sama sekali tidak mencerdaskan masyarakat.
Padahal mereka dikenal orang-orang pintar. Sayangnya kepintarannya digunakan untuk membodohi masyarakat. “Seharusnya peserta pemilu dan pendukungnya melakukan introspeksi diri agar setiap ungkapan dilontarkan tidak lagi nyinyir, menjatuhkan lawan, dan menghina. Masyarakat harus dididik agar lebih cerdas dalam memilih calon pemimpinnya demi Indonesia lebih baik ke depannya,” ungkapnya.
Menurut dia, media sosial (medsos) menjadi senjata pihak-pihak berkepentingan untuk saling menjatuhkan. Menjelang pemilu 2019, pihak kepolisian harus bekerja ekstra untuk memproses sejumlah laporan akibat saling serang, saling ejek, saling sindir, dan saling tuduh. Polisi akan tersita tenaga untuk menangani pelanggaran IT sehingga kasus lain akan terabaikan.
Salah satu kejahatan paling menonjol menjelang pemilu 2019 yakni pelanggaran terkait Undang-Undang IT. Kedua belah pihak saling intip dengan pernyataan lawan yang bisa dibawa ke ranah hukum. Polisi pun akan menuai imbasnya karena sedikit salah penanganan akan diserang sebagai tindakan pilih kasih, memihak, dan tuduhan lainnya.
Tidak berlebihan kalau dikatakan seluruh masyarakat, kecuaili yang punya kepentingan tidak menginginkan terjadi perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Pilihan boleh beda, tetapi persahabatan, persaudaraan tetap harus dijaga.
“Peserta Pemilu 2019 harus lebih mengedepankan edukasi, bukan obsesi politik dengan menyampaikan gagasan-gagasan kampanye yang edukatif untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” jelas politikus Partai Hanura.
Pemilu 2019 diperkirakan diwarnai berbagai kecurangan, meski proses demokrasi di Indonesia selama ini tidak pernah berakhir dengan kekacauan. Memang sejarah mencatat, berbagai kejahatan pemilu akan terjadi. Sebut saja manipulasi data pemilih, politik uang (money politics), kampanye hitam (black campaign) bisa dikatakan sudah pasti terjadi.
Harus diakui, lemahnya penindakan hukum terhadap kejahatan pemilu masih terjadi di Tanah Air. Kasus kejahatan pemilu yang seharusnya ditindak tegas untuk menciptakan efek jera, seakan menguap seiring berakhirnya pesta demokrasi lima tahun sekali.
Benih-benih terjadinya berbagai kejahatan pada Pemilu 2019 sudah mulai bermunculan. Persoalan daftar pemilih tetap (DPT) hingga kini masih bermasalah, ditambah kasus tercecernya ribuan atau mungkin puluhan ribu e-KTP di berbagai tempat salah satu contohnya. Hal lain yang berpotensi menimbulkan pergesekan di masyakarat yakni penyebaran berita bohong yang cukup ramai di medsos, yang menggiring opini untuk mencapai politik elektoral dengan berbungkus agama.
“Karena itu, sudahilah semua tindakan kampanye yang tidak terpuji. Marilah bertanding dalam Pemilu 2019 dengan adu konsep atau gagasan yang membangun demi Indonesia yang lebih baik. Selamat menyambut Pesta Demokrasi 2019,” tutup pria kelahiran Mojokerto Jawa Timur. (R3)