HEADLINEHUKUM & kRIMINALNASIONAL

Direkturnya Bebas, Karyawan Dipenjara, Istrinya Menangis Histeris

CURAHAN TERPIDANA KORUPSI, DIKORBANKAN


JEMBER-VIRALKATA.COM-Seakan penuh onak, duri dan terjal perjalanan kasus tipikor (tindak pidana korupsi) Pasar Manggisan Kecamatan Tanggul- Jember. Banyak pihak ‘terseret’ dalam kasus revitalisasi Pasar yang menghabiskan anggaran APBD Tahun 2018 itu, namun akhirnya kandas juga dan nahasnya, ‘si orang kecil’ yang nota bene sebagai karyawan perusahaan konsultansi tersebut harus rela menjadi ‘tumbal’.
Setidaknya, vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang menyidangkan perkara korupsi yang menyeret M Fariz Nur Hidayat, Edy Sandi, M Anas Makruf dan Irawan Sugeng Widodo telah diketok pada 15 September 2020. Majelis hakim menjaatuhkan hukuman kepada Fariz selama 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider 2 bulan kurungan serta harus membayar uang pengganti sebesar Rp 90 juta, apabila tidak dibayar selama 1 bulan setelaah putusan maka harta bendanya akan dilelang oleh negara. Sebaliknya, bila hartanya tidak mencukupi akan diganti dengan penjara kurungan selama 1 tahun.
Begitu pula vonis yang telah dijatuhkan kepada Edy Sandi yaitu selama 6 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 2 bulan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp 1 milyar. Apabila terpidana tidak bisa membayar, harta bendanya akan dilelang oleh negara, dan bila hartanya tidak mencukupinya maka akan diganti dengan tambahan pidana selama 3 tahun penjara.
Apa yang dialami oleh Faris dan Edy Sandi, ternyata vonis majelis hakim juga menyasar kepada mantan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (selaku Penanggung jawab Anggaran/ PA dan sekaligus merangkan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen/ PPK) dengan penjara kurungan selama 4 tahun penjara, dan harus membayar denda sebesar Rp 200 juta (subsider selama 2 bulan penjara).
Lantas bagaimana dengan nasib Irawan Sugeng Widodo? Orang yang dikenal dekat dengan bupati itu akhirnya melenggang bebas keluar sel tahanan yang selama penahanan ditempatinya, dia bebas! Karena Irawan Sugeng Widodo (biasa disebut namanya Dodik) dalam persidangan dinyatakan tidak terbukti bersalahn akhirnya palu majelis hakim memvonisnya bebas. Praktis, kredibilitas jaksa penuntut umum (JPU) kini dipertaruhkan, sehingga hampir dapat dipastikan pihak JPU akan melakukan upaya hukum ke tingkat banding! Semoga harapan keadilan dapat terpenuhi di tingkat banding maupun kasasi kelak!

Fakta Persidangan
Bak disambar petir disiang bolong, kabar vonis bebas dari persidangan yang digelar di Pengadailan Tipikor Surabaya terhadap direktur PT Maksi Solusi Enjinering (PT MSE) Irawan Sugeng Widodo alias Dodik menuai reaksi publik kabupaten Jember yang berharap agar jalannya persidangan tersebut dapat mengungkap siapa aktor intelektual yang berada di balik merebaknya kasus korupsi pasar Manggisan Tanggul itu. Semuanya seakan sirnalah sudah!

TANGIS ISTRI FARIS
Tak terkecuali Maya istri Fariz yang terseret kasus tersebut dan sekaligus berprofesi sebagai karyawan justru mendapat divonis 5 tahun penjara. “Sangat tidak adil ini pak, saya tidak menikmati serupiahpun. Kenapa harus suami saya (Fariz) yang dihukum 5 tahun?” ujarnya diselingi isak tangis yang menimbulkan keharuan awak media yang mewancarainya melalui saluran telpon.
“Dan karyawan PT. Maksi tidak hanya Fariz, banyak yang lainnya. Sedangkan pak Dodik mendapat vonis bebas itu gimana maksudnya, padahal pak Dodik yang punya perusahaan, pak Dodik yang menikmati hasil pekerjaan. Pak Dodik juga sudah mengakui pada hakim, kalau yang design pak Dodik. Semuanya pak Dodik. Pak Dodik juga sudah menjelaskan, Fariz hanya mendapat gaji setiap bulannya. Kenapa hasilnya seperti ini?” sambung Maya.
“Terbalik. Yang harusnya fariz yang sangat ringan, bukan pak Dodik. Pak Dodik yang harusnya yang merasakan, karena beliau yang harus tanggung jawab sebagai direktur”.
Fariz adalah satu-satunya terdakwa dari 4 terdakwa kasus korupsi pasar manggisan yang mendapat perlindungan dari LPSK dan direkomendasikan menjadi Justice Colaborator namun tidak disetujui oleh Kejaksaan.
“Dari awal sepertinya sudah dikorbankan. Padahal Pak Dodik pada saat pemeriksaan terdakwa, sudah jelas jelas (menyatakan) Fariz adalah karyawannya, Fariz hanya menerima gaji setiap bulannya. Fariz …ya disuruh sana- sini, ya namanya karyawan kan diperintah kesana kesini. Mengapa vonisnya seperti ini?” tanya Maya entah kepada siapa.
“Yang punya perusahaan kok malah bebas, malah karyawannya yang dikorbankan. Kan Lucu, harusnya semua tanggung jawab perusahaan kan ada di direktur. Masak karyawannya yang harus tanggung jawab,” pungkas Maya, ibu seorang balita yang sejak Fariz suaminya ditahan, terpaksa harus menanggung kebutuhan sang suami dalam penjara sekaligus untuk menghidupi dirinya sendiri.
Setidaknya, seperti disampaikan dalam putusan majelis hakim yang digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (15/9/2020) satu dari empat terdakwa perkara korupsi proyek pasar Manggisan, terdakwa Irawan Sugeng Widodo alias Dodik divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.
“Mengadili, membebaskan terdakwa Irawan Sugeng Widodo alias Dodik dari semua dakwaan jaksa penuntut umum (JPU),” ucap Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya Hizbullah Idris ketika membacakan amar putusan.
Hizbullah juga memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari sel tahanan Lapas Jember yang selama ini ditempatinya setelah putusan diucapkan. “Dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya,” demikian amar putusannya.
Meski membacakan amar putusan tersebut, justru Hizbullah menyatakan disetting opinion (DO) atas putusan bebas yang dijatuhkan dua hakim anggotanya M Mahin dan Emma Ellyani tersebut.
Hizbullah justru berpendapat bahwa fakta hukum uang yang ditransfer terdakwa saksi Faris kepada terdakwa Irawan sebesar Rp 70 juta sebagai hak kekayaan intelektual. Namun, kelebihan bayar itu tidak bisa dibuktikan oleh penasehat hukum terdakwa.
“Sehingga saya berpendapat, sepakat dengan jaksa penuntut umum (JPU) bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1 Undang- undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, sebagaimana dakwaan primer kesatu penuntut umum,” ulas Hizbullah.
Sementara, M Mahin dan Emma Ellyani, dua hakim anggota menyatakan bahwa dakwaan primer dan subsider penuntut umum tidak terbukti karena uang sebesar Rp 70 juta yang ditransfer M Fariz Nurhidayat ke rekening pribadi terdakwa itu merupakan hak terdakwa hasil karya gambar yang diberikan kepada Fariz.
“Terdakwa hanya membuat desain gambar meskipun terdakwa sebagai direktur PT Maksi Solusi Enjinering (PT MSE). Faktanya, dalam pembayaran itu tidak menggunakan perusahaan terdakwa,” sebut Mahin ketika membacakan pertimbangan.
Selain itu, dalam fakta hukum bahwa saksi Fariz yang notabenya freelance yang paling berperan dalam pengawasan proyek pasar Manggisan. Sebab, menurut pertimbangan hakim, bahwa Fariz yang meminjam perusahaan hingga memalsu tanda tangan demi tanda tangan proyek.
Meski demikian, untuk terdakwa lainnya divonis bersalah dan dijatuhi hukuman berbeda. Untuk terdakwa M Fariz Nurhidayat divonis 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta, subsider 2 bulan kurungan. Ia juga dihukum membayar uang pengganti total sebesar Rp 98 juta.
“Uang pengganti tersebut maksimal satu bulan harus dibayar sejak putusan incrach. Bila tidak membayar, maka harta benda disita dan dirampas untuk negara. Jika masih kurang ditambah hukuman selama 1 tahun penjara,” ulas Mahin.
Sementara untuk terdakwa Edy Shandy Abdur Rahman dihukum sama seperti Fariz. Hanya saja, UP hang dijatuhkan lebih besar yaitu sebesar Rp 1 miliar, subsider 3 tahun kurungan. Baik Fariz Nurhidayat dan Edy Shandy Abdur Rahman, terbukti korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer, pasal 2 ayat 1, Jo pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara untuk terdakwa Anas Ma’ruf, mantan Kadisperindag Jember yang juga Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) divonis 4 tahun, denda Rp 200 juta, subsider 2 bulan penjara. Anas tidak dibebani uang pengganti karena terdakwa tidak menikmati uang korupsi. Namun Anas terbukti dalam dakwaan subsider penuntut umum, pasal 11 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Jeritan si Justice Colaborator
Dinamika persidangan memanglah memenatkan hati, perasaan bahkan harga diri. Alangkah bijaknya bila kita lihat jejak langkah persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya, selasa 9 Juni 2020 lalu, ada hal menarik untuk diungkap ke publik.
Sang Justice Colaborator Kasus Korupsi Pasar Manggisan, Fariz yang lahir di Jember 13 Oktober 1990, sekaligus terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi Pasar Manggisan, mengaku mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya yang dilakukan oleh oknum jaksa seperti yang diungkapkan oleh Fariz terhadap istrinya.
Seperti diketahui, persidangan kasus pasar Manggisan dilakukan melalui teleconfren yang bertempat disalah satu ruangan LAPAS Kelas II A Jember. “Saat sidang dengan agenda pembacaan eksepsi oleh tim penasihat hukum, Mas Fariz sebagai terdakwa dilarang untuk didampingi oleh penasehat hukumnya oleh Bu Naning,” ujar istri Fariz mengatakan.
Fariz merasa ada perbedaan sikap dari Jaksa Naning terhadap dirinya dibanding terhadap terdakwa Irawan Sugeng Widodo. “Sikapnya lebih sopan dan lebih akrab,” aku Fariz menuturkan kepada istrinya.
“Ketika Mas Fariz meminta agar bisa didampingi penasehat hukum, Bu Naning malah memarahi. Kemarin kan sudah saya bilang tidak boleh didampingi pengacara,” ujarnya menirukan kalimat jaksa kepada Fariz.
Anehnya, larangan didampingi penasehat hukum itu hanya secara lisan. Ketika diminta larangan tertulisnya jaksa tersebut tidak mau menjawab dan tidak bisa menunjukkan surat dimaksud. Menurutnya, penasehat hukum hanya bisa mendampingi di ruang sidang utama di depan majelis hakim. Alhasil, sampai dengan selesainya sidang, penasehat hukum Fariz hanya bisa menunggu di luar Lapas.
Terpisah, salah satu penasehat hukum Fariz, Lutfiah saat dihubungi lewat telpon, membenarkan pengakuan istri terdakwa itu. “Sampai sidang selesai, saya dilarang mendampingi Fariz. Bahkan saya dilarang masuk ke Lapas,” ujarnya.
Sidang kasus korupsi yang seharusnya terbuka untuk umum, kenyataanya hanya berlaku di ruang sidang utama di depan majelis, sedangkan untuk terdakwa yang mengikuti jalannya persidangan melelaui telekonfren di Lapas Jember tidak bisa diliput oleh media.
Ternyata, larangan tersebut juga dibenarkan oleh kasi Intel Kejaksaan Negeri Jember, Agus Budiarto. Kepada media pihaknya hanya menjalankan tupoksi sesuai aturan yang ada. Dalam sidang pasar manggisan saat sidang pertama memang terdakwa dapat di dampingi oleh penasehat hukumnya (PH). Akan tetapi lanjut Agus, setelah sidang pertama dibuka dengan agenda pembacaan surat dakwaan, hakim memerintahkan JPU berikut degan PH untuk sidang di PN Tipikor Surabaya. “Jadi yang di Lapas hanya bisa diikuti oleh para terdakwa saja,” tambahnya.
Lebih lanjut, terkait peliputan di lapas, Agus menjelaskan bahwa itu semua kewenangan lapas. “Kita hanya menjalankan segala aturan dan protokol kesehatan dari kemenkumham,” pungkasnya.
Fariz Nur Hidayat yang lahir di Jember, 13 Oktober 1990 menuliskan beberapa curahan hatinya yang di tulis dari dalam Lapas kelas IIA Jember sebagai terdakwa Kasus Tipikor Pasar Manggisan. Berikut tuisannya yang sudah melalui proses editing;
Saya hanyalah seorang karyawan dari sebuah perusahaan bernama PT. Maksi Solusi Enjinering dengan direktur bernama Ir. Irawan Sugeng Widodo (Dodik), yang juga merupakan terdakwa dari kasus Tipikor Pasar Manggisan Jember.
Saya hanyalah seorang karyawan yang hanya dibayar atas pekerjaan yang saya kerjakan sebagai karyawan PT Maksi Solusi Enjinering sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap bulannya. Itu saja, tidak ada selain itu. Apalagi menikmati hasil korupsi keuangan Negara seperti yang didakwakan.
Saya adalah tulang punggung keluarga, saya juga kepala keluarga dimana saya meninggalkan anak saya yang masih berusia 1 tahun.
Awal mula saya ditetapkan sebagai tersangka yaitu pada tanggal 23 Januari 2020. Saya menerima surat panggilan dari Kejaksaan Negeri Jember sebanyak 2 kali. Panggilan pertama saya hadir sebagai saksi dan tidak ada penahanan. Lalu panggilan kedua saya kembali hadir, status saya masih sebagai saksi, tetapi kemudian oleh Jaksa saya ditetapkan menjadi tersangka dan langsung dilakukan penahanan.
Ketika saya bertanya kepada Jaksa (saat itu adalah Pak Totok Walidi), mengapa saya dijadikan tersangka? “Karena tidak dapat menunjukkan SPK sebagai Karyawan,” kata jaksa kala itu. Mendengar alasan itu, saya berusaha menelpon pimpinan saya saat itu yaitu Pak Dodik untuk konfirmasi, tetapi tidak diangkat oleh pimpinan saya. Sampai akhirnya saya dibawa ke Lapas Kelas IIA Jember hingga saat ini.
Sebetulnya, semula saya bekerja pada perusahaan milik kakak ipar Pak Dodik, yaitu dr. Benny dan istrinya yang bernama Lies Herawati (Direktur) dari PT Medisain Dadi Sempurna. Dan sebagai karyawan, saya mengetahui bahwa dr. Benny dan Ibu Lies Herawati sudah lama kenal dengan Bu Faida (sebelum menjadi Bupati Jember), yaitu sejak mengerjakan proyek RS.Bina Sehat dan RS. Al- Huda sekitar tahun 2012.
Saya juga mengetahui, bahwa sejak Bu Faida menjadi Bupati Jember, Pak Dodik, dr Benny dan Bu Lies Herawati juga telah memperoleh proyek perencanaan dari Bupati Jember diantaranya: Perubahan Masterplan dan Perencanaan Gedung Rawat Jalan 4 lantai RSD Soebandi.
Kemudian pada tahun 2016, Pak Dodik mendirikan perusahaan yaitu PT. MAKSI SOLUSI ENJINERING dan pada tahun itu juga, atas ijin pimpinan PT. Medisain Dadi Sempurna saya diminta bergabung dalam perusahaan milik Pak Dodik (PT Maksi Solusi Enjinering) sebagai karyawan.
Perlu saya ceritakan suasana psikologis saya saat awal-awal menghuni Lapas, banyak sekali intimidasi bahkan tekanan psikologis yang saya rasakan. Semua petugas dan penghuni Lapas seolah-olah menganggap saya sebagai koruptor kakap. Mereka mengira;
Fariz adalah teman dekat bupati,
Fariz adalah orang kepercayaan bupati,
Fariz adalah pengusaha yang mendapat mega proyek di Jember dari Bupati,dll.
Setelah sekitar sebulan saya jalani kehidupan di Lapas dengan berbagai teror psikis yang saya rasakan, saya kemudian terdorong untuk memberanikan diri untuk mengajukan surat perlindungan kepada LPSK dan mengajukan diri sebagai Justice Colaborator. Saya akan bercerita apa adanya. Saya tidak akan menutup-nutupi apa yang saya tahu dan saya alami. Saya tidak akan membuat cerita atau pengakuan fiktif. Semuanya akan saya ungkap apa adanya.
Atas permohonan itu, LPSK pada 16 April 2020 menyetujui permohonan saya untuk mendapatkan perlindungan dan sekaligus merekomendasikan saya sebagai Justice Colaborator (JC) kepada Kejaksaan. Dan ternyata rekomendasi LPSK diabaikan oleh kejaksaan dengan alasan Bahwa Fariz adalah pelaku utama.
Bentuk Intimidasi yang saya rasakan, tidak hanya sebatas verbal saja tetapi juga dari hal-hal lain seperti:
Ketika ada penyidikan tambahan dari Kejaksaan Jember, informasi yang saya terima selalu mendadak, sehingga saya tidak memiliki waktu untuk menghubungi atau berkoordinasi dengan Penasihat Hukum (PH) saya.
Ketika penyidikan tambahan, PH saya selalu dipersulit untuk masuk dan mendampingi saya.
Pemberitahuan atau informasi apapun dari kejaksaan untuk saya, selalu saya terima terlambat atau mepet sekali dengan jadwal yang diagendakan oleh kejaksaan.
Salah satu contohnya yaitu, ketika sidang pertama tanggl 02 Juni 2020, saya tidak mendapatkan informasi apapun dari kejaksaan sehingga saya ditegur oleh Majelis Hakim. Bahwa untuk sidang berikutnya, PH harus hadir di pengadilan Tipikor Surabaya dan mendaftarkan berkas-berkas ke panitera. Hal-hal seperti ini yang juga menganggu psikologis saya untuk dapat menyatakan kejujuran. Saya merasa diperlakukan sangat tidak adil, saya merasa dikucilkan.
Kemudian sidang berlanjut di minggu selanjutnya dan PH saya yaitu pak Cholily dan pak Zainal Abidin sudah bersiap di Pengadilan Tipikor Surabaya, sedangkan PH saya ibu Lutfiah akan mendampingi saya di Lapas selama persidangan. Pada saat Ibu Lutfi akan mendampingi saya, beliau mendapat penolakan dari Lapas karena harus ijin Jaksa terlebih dahulu, kemudian beliau ingin bertemu dengan Jaksa yang ada didalam LAPAS untuk minta ijin agar bisa mendampingi saya selama persidangan. Tetapi Jaksa tidak kunjung keluar hingga kurang lebih menunggu 1 jam.
Dari kejadian tersebut, Saya malah ditegur oleh Jaksa tersebut bahwa PH hanya diperkenankan hadir di Pengadilan Surabaya. Padahal menurut saya, seharusnya saya berhak untuk didampingi oleh PH dengan pertimbangan:
Untuk antisipasi jika ada intimidasi dan tekanan psikologis selama persidangan berlangsung.
Karena saya tidak paham bahasa hukum, sehingga banyak bahasa-bahasa hukum yang saya tidak mengerti.
Dari hasil pemeriksaan terdakwa Fariz (saya sendiri) dan terdakwa Dodik (pimpinan saya) di persidangan pengadilan Tipikor Surabaya beberapa waktu lalu, semua yang dituduhkan kepada saya sudah dijawab semua oleh pimpinan saya yaitu pak Dodik, antara lain:
Pak Dodik mengakui, bahwa Fariz adalah karyawannya di PT. Maksi Solusi Enjinering.
Pak Dodik mengakui, bahwa Fariz hanya mendapat gaji setiap bulan dengan cara ditransfer oleh pak Dodik ke rekening masing-masing, sama dengan karyawan lainnya.
Pak Dodik mengakui bahwa semua gambar pekerjaan adalah pak Dodik yang membuat.
Pak Dodik mengakui, bahwa semua hasil pekerjaan telah disetorkan ke rekening Pak Dodik.
Pak Dodik mengakui, bahwa sebelum mengerjakan proyek-proyek Pemkab Jember, ia sudah lama mengenal Bupati Faida, yakni sejak proyek RS. Al-Huda dan RS. Bina Sehat.
Pak Dodik mengakui, bahwa Fariz hanya sebatas sebagai operator ketika beberapa kali diajak ke pendopo untuk memaparkan gambar proyek didepan Bupati Faida dan beberapa pejabat Pemkab lainnya.
Setelah beberapa kali sidang, pada persidangan acara penuntutan yaitu pada tanggal 04 Agustsus 2020, akhirnya saya malah dituntut oleh Jaksa dengan tuntutan yang sama persis dengan tuntutan kepada pimpinan perusahaan saya yaitu: 7 Tahun 6 bulan, Denda 300 juta subsidair 3 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 90.238.257 tanggung renteng dengan pak Dodik.*gus miek

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close