JEMBER-VIRALKATA.COM-Halaman sekolah yang biasanya selalu ramai dengan canda ria anak-anak terlihat sepi. Memang rumput terlihat lebih hijau dan lebih cepat tumbuh subur dari sebelumnya. Tapi ada sesuatu yg mengganjal di hati. Seperti janggal melihat sekolah tanpa kehadiran murid.
Diawali setahun lalu, Corona, Covid-19, Pandemi, Positif, Terkonfirmasi, Lockdown, akrab kita dengar sepanjang hari. Takut, ngeri, sedih, berbaur jadi satu. Tidak lama setelah itu sekolah harus ditutup. Anak-anak belajar dari rumah. Guru mengajar dari rumah. Perpisahan yang begitu mendadak. Perpisahan yang dipaksakan. Tanpa ada acara lepas pisah yang berkesan.
Semua disebabkan karena penyebaran virus Corona yang begitu cepat. Waktu itu kasus pertama yang terjadi di tanah air menimpa dua warga Depok, Jawa Barat. Kemudian mulai menyebar dan setiap hari ada saja yang terkonfirmasi. Mencekam karena semua media masa setiap hari menayangkan berita tersebut.
Kami tak menyangka jika Corona berlangsung begitu lama. Bahkan Ujian Nasional SMA dan SMP yang sudah jauh hari disiapkan terpaksa tidak diselenggarakan. Dan anak didikpun lulus dengan “bantuan” virus. Tragis memang.
Memasuki tahun pelajaran baru Covid-19 semakin berjaya. Pembelajaran Jarak Jauh tetap lanjut. Aneka model dan cara mengajar jarak jauh diterapkan. Luar Jaringan, Dalam Jaringan, Guru Berkeliling, Zoom, Google Meet, Google Form, Google Classroom, Grup Whatsapp, dan lainnya. Berbagai diklat kami ikuti.
Di awal kami semangat melakukan pembelajaran dengan mengirim video yang kami pikir bisa memudahkan anak didik memahami materi. Tetapi ternyata disinyalir bahwa cara itu memakan kuota yang cukup banyak. Hingga akhirnya kami siasati gimana caranya bisa mentransfer materi pelajaran tanpa memberatkan peserta didik.
Hampir tiap satu minggu sekali kami mengadakan evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh. Kendala demi kendala kami coba untuk mencarikan solusinya. Melelahkan dan selalu tidak memuaskan hasilnya.
Masalah lain yang berhubungan dengan handphone adalah spesifikasi yang tidak mendukung Pembelajaran Jarak Jauh, gambar kabur ketika dipakai memotret hasil tugas. Ada yang handphone masih dibawa orangtua bekerja pada saat jadwal Pembelajaran Jarak Jauh. Gantian sama adik. RAM kecil. Tidak ada jaringan.
Tidak jarang kami merasa gemas jika anak-anak malas mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh. Kami sering mengomel jika anak-anak tidak mengumpulkan tugas.
Orang tua murid juga mengeluhkan pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh. Mereka angkat tangan karena sama sekali tak mampu mengajari anaknya sebab pelajaran SMP dirasa terlalu sulit. Akhirnya mereka asal setor tugas aja tanpa peduli hasilnya seperti apa.
Apapun kondisinya, Pembelajaran Jarak Jauh must go on. Bagi yang tidak bisa melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh ya terpaksa ke sekolah mengambi tugas untuk dikerjakan di rumah. Pernah kami melakukan “guling”. Guru berkeliling ke rumah anak-anak yang mengalami kendala. Tetapi guling tak bisa berlanjut lama karena covid semakin meluas dan sebagian besar anak didik berdomisili di zona merah. Kami ngeri sendiri dengan resikonya.
Teknik menyerahkan tugaspun selalu kami perbaiki dan kami pantau. Tugas diserahkan di sekolah setiap hari Jumat dan Sabtu. Jumat untuk kelas 7, dengan jadwal mengumpulkan yang tidak sama setiap kelasnya supaya tidak berkerumun. Begitu juga untuk kelas 8 dan 9 pada hari Sabtu.
Tidak begitu lama kemudian covid dinyatakan mulai menyerang warga di sekitar sekolah, kami mengganti cara mengumpulkan tugas dengan cara online. Melalui Google Classroom atau langsung dikirim WApri ke guru mata pelajaran masing-masing. Setelah hampir sebulan berjalan kami kompak mengeluh. Yang mengumpulkan tugas menurun tajam. Satu kelas yang rata-rata berisi 32 anak yang mengumpulkan hanya kisaran kurang dari 10. Bahkan ada yang hanya 5 anak. Kuota belajar gratis dari pemerintah seolah tidak ada pengaruh yang signifikan. Kami para pendidik terheran heran.
Diadakanlah rapat lagi, dan ditetapkan bahwa pengumpulan tugas kembali seperti semula yaitu melalui sistem luring. Dikumpulkan di sekolah. Terjadwal dan wajib mengikuti protokol kesehatan. Memakai masker, mengecek suhu badan, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan. Mohon maaf jika kami sering berteriak supaya anak-anak patuh pada protokol kesehatan.
Memang tidak semua sekolah memiliki kendala yang sama. Dan semua sekolah mempunyai skenario masing-masing dalam menghadapi Pembelajaran Jarak Jauh ini. Beruntunglah kita para pendidik sudah terbiasa menjadi para pemetik hikmah. Karena pasti selalu ada hikmah di setiap kejadian.
Semoga dalam waktu dekat semua guru dan tenaga pendidikan sudah tervaksin. Semua sekolah segera memenuhi standar layak sekolah tatap muka. Sehingga secepatnya terwujud Pembelajaran Tatap Muka yang tentu saja tetap dalam aturan memenuhi protokol kesehatan.