HEADLINENASIONALNEWS

Pasangan Ideal H. Hendy – Gus Firjaun, Memunculkan Banyak Harapan.

JEMBER-VIRALKATA.COM-Terpilihnya pasangan H.Hendy Siswanto-Gus Firjaun menjadi bupati/Wabup Jember, memunculkan banyak harapan bagi masyarakat Jember. Mayoritas berharap Jember menjadi lebih baik lagi. Taqliblne yang diusung “Wis Wayahe Mbenahi Jember”.

Lebih-lebih kepemimpinan bupati dr Faida, sepanjang jalan jabatannya selama lima tahun Jember mengalami stagnan, bahkan kemunduran. Termasuk pada akhir jabatannya menyisakan banyak persoalan.

Diantaranya munculnya penilaian disclimer dari BPK, pengembalian KSOTK mutasi jabatan yang mendapat penolakan Kemendagri, gagalnya pembahasan Raperda APBD, pemakzulan, disharmonisasi hubungan legislatif dengan eksekutif, mosi tidak percaya ASN pada bupati, dugaan penyimpangan anggaran berbagai proyek pembangunan dan belanja barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan dan perundangan. Masih ada setumpuk persoalan yang mengakibatkan proses pembangunan di Jember tidak baik-baik saja.

Ketika Pilkada 2020 yang berlangsung 9 Desember lalu memunculkan kemenangan bagi Paslon H. Hendy-Gus Firjaun, memunculkan banyak pula daftar harapan baru bahwa Jember mendatang akan menjadi lebih baik.

Sesungguhnya kemenangan yang diraih oleh pasangan calon merupakan hasil kerja agregatif dari seluruh kekuatan, baik dari pasangan calon sendiri, koalisi partai, simpatisan, relawan, pendukung maupun pemilih.P

Oleh karena itu, Pidato Kemenangan Haji Hendy-Gus Firjaun, Rabu sore, 9 Desember 2020, sangatlah tepat. Bahwa, kemenanganya adalah “kemenangan rakyat Jember”, yang hak-haknya wajib segera dikembalikan.

Seorang Moch Ekhsan, pendiri Ekhsan Istitute menilai nampak sekali, visi pasangan birokrat-kiai dan pengusaha-politisi ini sangat restoratif, seperti politik gagasan Surya Paloh dalam membangun bangsa.

Realisasi 7 program unggulan, mesti tergambar secara teknokratis dalam rancangan pembangunan dan anggaran daerah. Kerja-kerja teknokratis ini merupakan kelanjutan dari kerja-kerja politis pasca kemenangan, sehingga proses demokrasi bisa menghadirkan kesejahteraan rakyat.

Perlu diingat, kemenangan bukan untuk kemenangan. Tapi, kemenangan untuk kesejahteraan. Socrates mengkritik praktek demokrasi karena dalam dirinya mengandung cacat filosofi bawaan. Banyak orang yang terpilih dalam proses pemilihan, rendah kompetensinya, baik dari segi leadership, managerial, maupun tehnikal. Akibatnya, dalam menjalankan pemerintahan mengalami “gamang”, tak tahu jalan, terjebak agenda harian dan tanpa terobosan.

Menurut Moch Ekhsan yang juga Anggota DPRD Prov Tingkat 1 Jatim Fraksi Nasdem, memang Haji Hendy-Gus Firjaun adalah pasangan bupati dan wakil bupati ideal, bahkan paling ideal dibandingkan dengan bupati dan wakil bupati sebelumnya dari segi usia dan pengalaman. Sebab, Haji Hendy berkuasa nanti saat dilantik pertengahan Februari 2021 berusia 60 tahun. Sementara, Ir MZA Djalal di usia 49 tahun dan dr Faida di usia 47 tahun pada saat mulai berkuasa. Selain usia, pengalaman birokrasi Haji Hendy dan politik Gus Firjaun lebih panjang. Namun dari segi politis, kemenangannya paling kecil dari persentase, hanya 48,4 persen. Sementara Pak Djalal dan dr Faida masing-masing 58,55 persen dan 53,75 persen.

Target Haji Hendy memperoleh kemenangan 72 persen, tak tercapai. Ini cukup masuk akal, mengingat: Pertama, kondisi pandemi covid-19 yang membuat sebagian pemilih ketakutan dan memilih golput. Kedua, musim hujan yang membuat sebagian pemilih malas datang ke TPS. Ketiga, pertarungan sengit 3 pasangan calon, dalam memperebutkan jeruk purut massa pemilih yang sama. Sehingga, rekor persentase angka selama 20 tahun terakhir, masih belum terpecahkan dan tetap dipegang oleh Pak Djalal. Padahal di 19 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada di Jatim, ada yang mencapai di atas 70 persen, seperti Indrata Nur Bayu Aji 74,88 persen di Pacitan, Hanindhito Himawan Pramana 76,54 persen di Kabupaten Kediri, dan Ony Anwar 94,4 persen di Ngawi.

Lebih dari itu sebenarnya, semenjak pemilu 2009 sampai sekarang, tak ada satu pun partai politik yang meraih di atas 9 kursi. Ini menunjukkan, struktur elite dan massa penduduk Jember mengalami “fragmentasi sosial”. Era unifikasi politik santri pada 1999 dan 2004, runtuh bersamaan dengan konflik internal keluarga besar PKB. Disamping, tersebarnya para kader NU di berbagai partai, baik yang berasas Islam maupun nasionalis. Hal yang sama, dalam proses pengusungan dan pemenangan pasangan calon, sangat sulit disatukan pada pasangan calon tertentu. Praktis, yang bisa disepakati di tengah menguatnya faksi politik kaum santri, tafsir politik khittah NU KH Achmad Shiddiq yang berlaku: “NU tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana”.

Maka dari itu, kapitalisasi pemilih menjadi satu kekuatan besar, secara ideologis dan sosiologis sangatlah sulit. Pemilih di Jember sangat “cair” saat ini. Tak ada tokoh sentral yang dominan dan determinan menentukan arah preferensi pemilih. Radius pengaruh dari pemilu ke pemilih kian mengecil. Bahkan terkadang, di level TPS, kalah dengan arus pragmatisme warga. Pemilih semakin otonom, dan variabel yang menentukan semakin beragam. Money politic dalam berbagai survey, justru dianggap wajar. Hasil survey Peta Politik Kabupaten Jember dari Politika Research and Consulting (PRC), 26 November-1 Desember 2020 menyebutkan, 49,2 persen pemilih mentoleransi politik uang, dan 21,2 persen menentukan pilihan.


Banyak pihak menyatakan yang penting menang berapa pun perolehan suaranya. Kegagalan dalam memenuhi target, juga banyak pihak memaklumi. Kemenangan menjadi “tiket” perubahan Jember lebih baik. Dengan kepemimpinan pasangan Haji Hendy-Gus Firjaun, Jember akan on the right track di atas rel strategi dan inovasi, sebagaimana pembangunan jalur ganda KA Semarang-Bojonegoro. Selamat sebagai bupati dan wakil bupati terpilih, rakyat menunggu karyamu dalam membangun Jember.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close