JEMBER-VIRALKATA.COM-Ketua DPRD Jember Itqon Syauqi, melihat berbagai persoalan yang muncul di permukaan antara lembaga legislasi DPRD dengan lembaga eksekutif bupati Faida, memiliki dampak yang luas. Secara internal munculnya konflik kedua belah pihak sangat berpengaruh terhadap kinerja DPRD. Secara eksternal harus menjawab berbagai persoalan yang terkait dengan Hak Interpelasi, Hak Menyatakan Pendapat hingga Pemakzulan bupati Faida. Belum lagi fakta politik tidak dapat disahkan Perda APBD tahun 2020, sangat berpengaruh terhadap program pembangunan di kabupaten Jember. Berikut ini hasil wawancara Singgih Sutoyo, wartawan Majalah Viralkata.com dengan Itqon Syauqi menjawab berbagai pertanyaan tentang berbagai masalah Kabupaten Jember di ruang kerjanya.
Apakah kinerja lembaga DPRD ini apa bisa berjalan normal terkait dengan tugas dan fungsi pembuat undang undang , pengawasan dan bujeting ketika terjadi konflik antara DPRD dengan bupati?
Kita tetap melakukan fungsi fungsi itu karena itu sumpah dan janji dalam tugas yang melekat pada anggota DPRD, terutma soal bujeting, legislasi dan pengawasan . Misalnya, berkaitan dengan legislasi Perda tetap kita proses .
Jadi, Hak Menyatakan Pendapat yang kemarin yang diusulkan 47 anggota DPRD itu proses politik. Artinya, secara politik bupati sudah tidak diinginkan oleh 47 anggota dewan dari seluruh fraksi. Sebanyak 7 fraksi itu secara politik , akan tetapi secara administrasi , bupati tetap bupati artinya kerja secara administratif di DPRD tetap jalan. Contoh , hearing yang terkait dengan kepentignan masyarakat , kita mengundang pihak eksekutif , bupati kemarin mengajukan rancangan, tetap kita proses sesuai undang undang, sitem kita tetap berjalan sesuai kerja profesional.
Jadi kami bisa memisahkan mana yang sifatnya administrasi mana sifatnya yang politik . Kewajiban kami tetap kami jalankan karena kami dibayar dan digaji oleh negara untuk bekerja secara administratif itu. Semuanya masih tetap berjalan, kalau ada pengaduan dari masyarakat saya disposisikan kepada komisi komisi yang terkait, misanya soal pupuk , terkait cagar alam cagar budaya , penerimaan siswa tingkat SMA terkait penangganan covid- 19 . Kami tetap melakukan pengawasan yang sifatnya atributit. Jadi fungsi pengawasan, semua itu tidak bisa hilang hanya karena terkait proses politik.
Tetapi apakah kinerjanya bisa secara maksimal?
Ya terus terang sangat terpengaruh, tidak bisa maksimal selama hubungan dengan eksekutif tidak berjalan normal . Kami akuI secara secara jujur memang kinerja tidak bisa secara maksimal, tapi tetap berusaha melakukan kinerja secara profesional. Saya minta kepada anggota DPRD semuanya tetap ngantor , kita terima kalau ada tamu dari luar kota, tetap sesuai dengan tupoksi kita.
Tapi apakah kaitan Perda masih ada pengajuan Rancangan Perda dari eksekutif?
Ya tetap ada , terutama Perda Perda wajib , saya tetap disposisikan kepada alat kelengkapan dewan. Tetap diproses sesuai prosedur dan perundang undangan.
Dari sisi kuantitas dari Perda yang dihasilkan selama ada konflik ?
Masih ada beberapa Perda misalnya Perda Penyertaan Modal, tetap kita selesaikan terkait dengan PDAM , dan PDP. Juga Perda restribusi, masih ada bebeberapa lagi tetap kita proses sampe selsai. Dan itu kewajiban kami. Pada prinsipnya proses politik itu tidak terlalu mengganggu kinerja anggota dewan, terkait dengan kewajiban kami.
Apakah konflik yang muncul antara DPRD dengan eksekutif juga terjadi pada DPRD periode sebelumnya, artinya DPRD yang sekarang baru berjalan 1 tahun, gambarannya perode sebelumnya seperti apa.
Karena saya masih baru , saya tidak bisa memberikan gambaran. Bagaimana hubungan DPRD dengan eksekutif sebelum periode kami , tidak tahu persis. Tapi memang muaranya pada komunikasi, dalam hal ini dalam komunikasi politik.
Terus terang tidak mudah menyatukan persepsi 50 orang anggota DPRD. Saya lihat eksekutif ini tidak bisa menangkap apa saja yang menjadi aspirasi dari 50 anggota DPRD . Contohnya seluruh kabupaten dan kota se Indonesia yang namanya anggota dewan itu sesuai dengan undang undang memiliki Pokir atau pokok pikirain. , Apa itu Pokir, adalah aspirasi yang diperoleh tiap tiap anggota ketika menjalankan reses di dapilnya, kemudian para konstituen di masing-masing dapil menyampaikan aspirasi apakah yang bisa dilakukan oleh anggota dewan terkait dengan banyak hal, misalnya jalan yang rusak, saluran irigasi yang mapet, mushola yang perlu rehabiisasi dan masjid yang perlu direnovasi dan lainnya. Ini dimananpun seluruh anggota DPRD di kabupaten dan kota di Indonesia , bahwa aspirasi konstituen ditampung dan diwadahi dalam satu pokok pikiran, kemudian diusulkan kepada OPD- OPD yang terkait.
Jadi tolong persoalan persoalan tersebut ditanggani, tapi ternyata di Jember tidak ditangani hal yang terkait dengan Pokir tersebut . Paahal secara normatif DPRD dipilih oleh rakyat yang sebetulnya tidak ada bedanya dengan bupati. Namanya kami dipilih rakyat kami tidak ingin kehilangan muka di depan rakyat yang memilih kami.
Menurut kami komunikasi antara DPRD dan ekselutif lemah , tidak bisa menangkap persoalan persoalan krusial dan substantif yang terkait dengan keberadaan anggota dewan. Setiap anggota dari 50 anggota DPRD punya misi. Dilain pihak, mereka masyarakat memilih kami dengan harapan untuk dapat menyalurkan aspirasi mereka. Di jember itu tidak ada dan tidak terjadi . Sangat berbeda dengan kabupaten lain, seperti Banyuwangi , Situbondo , Bondowoso dan Lumajang semuanya. Hanya Jember satu satunya yang tidak ada.
Bila yang terjadi masalah pokok adalah yang terkait masalah komunikasi, maka sejauh mana upaya untuk memperbaiki komunikasi antara anggota dewan dengan eksekutif?
Secara bergantian sudah kami melakukan upaya perbaikan soal komunikasi yang buruk ini. Malah pernah difasilitasi oleh Sekjen Depdagri, pimpinan DPRD dan bupati juga hadir. Sudah ada arahan dari Sekjen bagaimana caranya Jember ini sama dengan kabupaten kabupaten yang lain dan kota kota seluruh Indonesia yang lain. Tapi kenyataan semuanya tidak dijalankan oleh bupati.
Pada saat ada mediator dari Sekjen Depdagri apakah tidak menghasilkan komitmen karena kedua pihak dipertemunkan?
Tidak ada
Kenapa , ada perbedaan prinsip apa sebenarnya yang menyebabkan tidak ada komitmen atau kesepakatan?
Saya jujur saja tidak tahu , karena posisi kami ini sifatnya menunggu, dan selama kami menunggu tidak ada tindaklanjuti dari arahan yang disampaikan oleh Sekjen Depdagri untuk memperbaiki komunikasi.
Sehingga kemudian akhirnya realitas politik yang terjadi yaa seperti ini. Terjadinya sebetulnya karena keengganan bupati untuk melaksankan arahan Sekjen Depdagri .
DPRD ini sebagai lembaga yang mengawasi eksekutif juga dikirimi tembusan oleh Sekjen waktu itu. Ketika kami mendesak surat itu ditindakllanjuti, bupati tidak mau menindaklanjuti. Kemudian terjadilah masalah masalah yang makin buruk karena perbuatan yang dilakukan oleh bupati itu sendiri, diantaranya soal tindaklanjut pemeriksaan khusus dari Irjen Dedagri soal perintah pencabutan 30 STOK (struktur tata orgaisasi kepegawaian) , soal pencabutan 15 SK kepegawaian . Itu sebetulnya perintah dari Irjen tapi itu tidak dijalankan.
Juga ada masalah masalah lain, misalnya saat sidang paripurna DPRD tiba tiba bupati kabur , dan meninggalkan ruangan pada saat paripurna belum selesai. Alasannya apa kita tidak tahu , yang jelas saat itu ada salah satu anggota DPRD yang interupsi , kemungkinan bupati tidak berkenan langsung kabur meninggalkan sidang.
Pada saat sidang interpelasi bupati juga tidak datang. Saat itu dia bilang interpelasi itu tidak penting . Padahal, itu adalah hak konstitusional yang melekat pada DPRD.
Memang ada dinamika yang multispektum yang tidak bisa dilihat dalam satu sisi, jadi dari beragam macam persoalaan. Puncaknya hak menyatakan pendapat. Dimana 47 anggota DPRD dari semua fraksi sepakat mengajukan usulan kepada MA untuk memberhetikan Bupati Jember.
Sampai saat ini sampai tahapan mana, hak pengajuan pendapat itu dikirim ke MA ?
Ini mau dikirim ke MA karena kemarin ada beberapa dokumen yang perlu kami lengkapi, memang tidak ada batas waktu untuk mengirim berkas . Yang ada batas itu dipihak MA begitu berkas HMP diterima dan diregertrasi di MA, maka MA harus sudah memutuskan paling lama 1 bulan. Rencana dalam minggu ini dikirim.
Apakah DPRD pada periode yang lalu, persoalan tentang munculnya konflik dengan eksekutif bisa diselesaikan?
Saya tidak tahu, karena orang baru.
Pada saat periode yang sekarang ini, ada semacam tumpukan masalah mulai dari interpelasi sampai Hak Menyampaikan Pendapat, kenapa dalam periode kurun waktu 1 tahun muncul masalah masalah krusial?
Menurut saya karena keengganan bupati untuk menindaklanjuti persoalan persolan itu. Contohnya, yang terkait dengan interpelasi , wartawan ada yang tanya , apa hadir dalam sidang interpelasi di DPRD, bupati jawab , gak penting!
Itu artinya sudah menciderai pilar demokrasi yang berlaku dalam sistim pemerintahan. Antar lembaga itu harusnya saling menghargai. Secara perundangan bahwa DPRD itu bukan bawahan bupati tapi sejajar. Pada saat sidang interpelasi bupati tidak datang, karena dianggap tidak penting.
Padahal yang terkait dengan interpelasi , hak menyatakan pendapat hak angket , semua itu sebetulanya persyaratannya sangat sulit, sangat jarang terjadi di pemerintahan kabupaten atau di kota yang lain. Sangat jarang meskipun ada. Tidak pernah ada yang namanya hak angket dan hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat disepakati seluruh anggota DPRD . disetujui seluruh fraksi , hanya di kabupaten Jember ini yang terjadi.
Akhirnya muncul pertanyaan ada apa sebenarnya . makanya sangat logis kalau disimpulkan ternyata karena komunikasi yang sangat buruk antara DPRD dan bupati.
Secara fisik jarak kantor antara DPRD dan bupati sangat dekat , kenapa sulit dilakukan perbaikan komunikasi oleh para pihak?
Kami dari DPRD sudah sering berkirim surat kepada bupati minta untuk menindakllanjuti terhadap berbagai pesoalan persoalan tapi tidak ada tindaklanjut .
Dan ini diperparah lagi , kalau kami memanggil OPD sering kali dipersulit oleh bupati. OPDnya dilarang hadir oleh bupati ke DPRD.
Saya sudah melihat bahwa semua ini artinya bupati anti pengawasan , tidak mau diawasi oleh pihak manapun. Padahal pengawasan itu melekat pada atributit DPRD.
Bayangkan bila pemerintah tanpa pengawasan yang terkait pengolahan keuangan negara dan jalannya pemerintahan apa yang terjadi. Akhirnya terbukti Jember misalnya tahun 2019 tidak mendapatkan kuota CPNS, 700 pejabat tidak naik pangkat , itu hanya beberapa contoh. Semunaya menunjukan tata pemerintahan yang tidak bagus dan bermasalah. Sebetulnya kami sudah melakukan konsultasi dengan pihak vertikal dalam ini gubernur tetapi tetap saja tidak ada perubahan dari pihak eksekutif.
Apa dampak yang ditimbulkan adanya ketidak harmonisan antara DPRD dengan eksekutif ?
Yang jelas berdampaknya merugikan rakyat. Misalnya ketidak adanya Perda APBD , itu sangat merugikan rakyat Jember karena belanja pemerintah daerah menjadi sangat terbatas .
Padah saat kabupaten atau kota yang lain saling bahu membahu, tapi sebaliknya Jember tidak bisa melakukan apa apa .
Tidak adanya persetujuan Perda APBD Kabupaten Jember apakah karena DPRD dan Eksekutif tidak ada sepakat, ada apa sebenarnya?
Ya memang tidak ada sepakat diantara keduanya,.
Apa yang menjadi persoalan krusial yang sebenarnya?
Sebetulnya , yang menjadi persolalan itu terjadi semacam miss persepsi karena bupati memiliki tafsir tersendir dalam hal penyusunan APBD di kabupatn Jember. Dan ini tidak ada yang terjadi di kabupaten dan kota yang lain yang mempunyai persespi seperti bupati Jember.
Jadi bupati ini setiap melakukankan pembahasan yang terkait masalah APBD misalnya, bupati memposisi dprd ini sebagai sub koordinatif. DPRD dianggpnya pejabat sebagai lembaga wajib stempel dan wajib tandatangan dan menandatangani. Padahal sesuai dengan peraturan perundangan undangan yang namanya APBD itu dibahas oleh Bupati dan DPRD . tapi kenyataannya tidak ada yang namanya pembahasan. Adanya penodongan.
Ya sebetulnya ketidaksepakatan itu sudah di mediasi oleh Depdagri dan pernah dilaksanakan dengan Dirjen Keuangan Depdgari dan beberapa kali oleh pihak Gubernur
Memang tidak ada pengesahan. Akan terjadi preseden buruh bagi penegakan sistim penegakan demokrasi yang ada di NKRI. Tidak terbayangkan kalau preseden yang seperti ini akan ditiru kepala daerah daerah yang lain se Indonesia. Maka akan habislah keberadaan DPRD.
Padahal niat kami semata mata untuk mengawasi menyelamatkan uang rakyat jangan sampai satu rupiah pun orang rakyat itu tidak sesuai dengan peruntukannya. Dan terbukti lagi bahwa jember kemarin dinyatakan predikat disclaimer dari BPK .
Itu artinya apa?
Artinya memang bahwa tata keloloa keuangan pemerintahan sangat buruk dan perlu pengawasan yang sangat intens dari DPRD. Terutuama yang terkait dalam pengasawasan anggaran. Karena ketika tidak diawasi, terbukti BPK memberikan predikat disclamer atau predikat terburuk dalam tata kelola keuangan negara.
Fakta seperti ini ternyata bupati tidak merasa bersalah. Bupati merasa Jember tetap baik baik saja. Penyebabkannya itu tadi karena bupati punya tafsir sendiri tentang tata kelola keuangan dan itu berbeda dengan siapapun.
Kalau dalam APBD tahun 2020 tidak ada perda APBD , lantas solusinya?
Yaa terpaksa menggunakan Perkada .
Apakah pernah terjadi pada periode periode sebelumnya?
Tidak pernah, baru tahun 2020.
Terus konsekuensinya?
ketika menggunakan Perbup maka belanja yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah sangat terbatas. Dan itu merugikan masyarakat Jember . Usuan bupati APBD tahun 2020 sebesar 5,3 trliun. Tapi artinya ya tidak mungkin. Anggaran tahun sebelumnya, 4,4 triliun. Itu artinya ada uang sekian ratus mliiar yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk masyrakat jember dan kemaslahatan masyrat jember. Belum lagi Silpa tahun sebelumnya juga tidak bisa diakses karena tidak ada perda APBD. Ketika perda APBD tidak ada maka tidak ada juga P-APBD. Karena tidak bisa diproses, maka P-APBDnya tidak ada. Itu juga lagi lagi ratusan miliar hangus. Akibatnya proses pembangunan dan lanyanan publik sangat berdampak .
Seandanya nanti bupati Faida terpilih kembali pada pilkada mendatang apa yang harus dilakukan, untuk memperbaiki konflik DPRD dan bupati ?
Kalau secara normatif namanya komunikasi antara eksekutif dan legilslatif yaa harus dibangun. Jujur saja kami tidk bisa memprediksi itu . Hanya saja sedikit visualisasi atau gambaran dari kami bahwa kalau itu terjadi bahwa secara politik bupati tidak mempunya kekuatan apa apa di parlemen.
Ini imbasnya ada dua , yakni boleh jadi justru tambah buruk tentang kelola pemeirntahan, tapi boleh jadi juga kalau bupati mau menurunkan egonya, memposisikan DPRD sesuai dengan eksistensinya sesuai dengan perundang undangan yang sejajar dengan Bupati , ya siapa tahu namanya saja dinamika politik, bisa jadi akan menjadi lebih baik.
Tapi kalau keyakinan anda?
Ya susah menjawab namanya dinamika politik , siapa tahu . Yang jelas 50 orang anggota DPRD yang merupakan represesantasi dari papol yang ada di jember, dalam hal ini bupati memposisi kan diri sudah berhadap hadapan dengan kita . Ini adalah fakta politik .
Saya selaku DPRD , tentu berharap ada perubahan di Jember. Karena dari sudut pandang DPRD, bupati yang saat ini yang sedang menjabat tidak bisa dipertahankan, tidak bisa dipertaruhkan, tidak bisa memperbaiki Jember lagi.