LOMBOK, ViralKata.com – Gempa di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) terjadi awal Agustus 2018, hingga kini belum tertangani tuntas. Lebih dari 5.000 rumah warga mengalami kerusakan. Kondisi terparah diantaranya di Desa Gegerung ada sekitar 500an rumah warga yang rusak berat hingga ringan.
Kerusakan rumah mendapat perhatian serius Presiden Jokowi yang pernah mengunjunginya. Bahkan berpesan warga dengan rumah rusak berat dapat bantuan Rp50 juta. Sedangkan rusak sedang menerima Rp25 juta, dan Rp10 juta untuk rumah rusak ringan.
Sayangnya hingga hari ini, tidak ada kabar lebih lanjut soal dana bantuan itu. Padahal, pendataan sudah dilakukan terhadap seluruh warga. “Katanya nanti dikabari dari kantor desa, tapi enggak ada tuh sampai sekarang,” lontar Ardiansyah, warga Dusun Jelateng Barat seperti dilansir laman CNNIndonesia, Ahad (18/11).
Adriansyah mengungkapkan, hingga saat ini hanya ada dua warga Jelateng yang mendapat rekening dana bantuan tersebut. Yakni, mantan kepala Desa Gegerung Jalim Dahlan dan seorang saudarnya. Rumah kedua orang tersebut hancur akibat gempa.
Hingga kini, sambung dia, warga korban gempa bumi diNTB) masih menunggu kejelasan dana bantuan yang dijanjikan pemerintah. Pasalnya, masih banyak warga yang tidak tahu kabar perkembangan dana tersebut. Misalnya, warga di tiga Dusun Jelateng, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat.
“Mereka masih bertanya-tanya, kapan pastinya dana yang dijanjikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu sampai ke tangan mereka. Dulu katanya tiga bulan sudah bisa menempati (rumah) yang baru. Tapi ini sudah mau empat bulan (belum cair),” sambungnya.
Hal senada juga dialami Jalim yang rumahnya rata dengan tanah. Saat ini ia tinggal di areal belakang rumahnya yang merupakan kandang ternak ayam. Namun kini tanahnya digunakan sebagai tempat tinggal. Meski difungsikan untuk tempat tinggal, namun belum bisa dikatakan sebagai rumah layak huni karena hanya berupa pelataran dengan dua kamar bertembok papan dan beratapkan seng.
Saat cuaca cerah di siang hari, tempat ini akan terasa sangat panas. Meski demikian, kediaman Jalim cukup baik jika dibandingkan warga lainnya. Karena sebagian warga masih tinggal di pengungsian bersama. Pengungsian itu menggunakan tenda terbuat terpal. Sumpek, panas dan pengap akan sangat terasa tatkala berada di dalamnya.
Terkait soal dana pemerintah, Jalim mengakui dirinya menerima rekening dana bantuan. Rekening itu diterimanya langsung dari Jokowi ketika menyambangi NTB beberapa waktu lalu. “Ada 13 warga yang menerima dana bantuan. Saat itu ke-13 warga ini merupakan perwakilan atau menerima antuan secara simbolis dari pemerintah,” lontarnya.
Angka yang diterima pun beragam. Jalim mengaku ia menerima bantuan sebesar Rp50 juta di rekeningnya. “Saya terima rekening itu waktu dia (Jokowi) ke Lombok Utara. Diserahin pertama, perwakilan simbolis. Pak Jokowi mengatakan jangan sampe tersendat, harus dicairkan langsung,” ucap Jalim mengingat saat itu.
Beberapa hari kemudian, Jalim mengaku pergi ke salah satu bank di wilayah Mataram untuk mencairkan tabungan tersebut. Namun nyatanya uang di rekening itu tidak bisa ditarik langsung. Dan baru mengetahui penarikan uang hanya bisa dilakukan secara kolektif melalui pihak ketiga, Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang perannya seperti kontraktor.
Dengan kata lain, para pemilik rekening dana bantuan ini menyerahkan kuasa kepada pihak ketiga tersebut yang telah ditunjuk oleh PUPR.
“Makanya percuma, rekening enggak ada artinya. Karena sudah ada surat kuasa,” kata dia.
Nantinya, kata Jalim, dana yang diterima warga tidak lagi dalam bentuk uang. Tetapi berupa bahan bangunan seperti pasir, semen, dan berbagai material lainnya. Jalim sendiri sudah menerima sejumlah material berupa pasir dan semen dari pihak tersebut beberapa waktu lalu.
Hingga kini material tersebut masih teronggok di bekas rumahnya yang hancur, karena masih menunggu material lainnya untuk dibangun. Nantinya proses pengerjaan juga dilakukan oleh tim yang telah dibentuk pemerintah melalui PUPR. “Tata cara pencairan dana seperti ini sangat rumit karena butuh proses administrasi yang panjang. Selain itu, pengerjaan pembangunan tidak dilakukan cepat,” ucapnya.
Menurut dia, sedianya korban bencana bisa menerima dana bantuan dalam bentuk uang saja. Karena setelah menerima dana itu, maka bisa menggunakannya sesuai kebutuhan. “Proses seperti ini lambat sekali, harus nunggu material ini-itu. Mestinya serahkan saja uangnya, kecuali ada masyarakat menerima bantuan tapi tidak terbukti membuat bangunannya, maka boleh dituntut,” ujarnya. (R3)