JAKARTA, ViralKata.com: Mantan wakil gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar mengaku sempat curhat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perbincangannya melaporkan proyek properti Meikarta milik Lippo Group di Kabupaten Bekasi. Curhat itu disampaikan saat Deddy Mizwar masih menjabat.
“Di Muara Gembong saya ngomong, saat peluncuran program Perhutanan Sosial. Dia duduk lagi pas saya bilang, Pak saya mau ngomong. Dia (presiden) duduk lagi. Yang lain udah pada jalan. Dia duduk lagi berdua sama saya,” kata Deddy Mizwar saat dihubungi wartawan, Jumat, (19/10).
Deddy Mizwar meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan Presiden Joko Widodo di sela peluncuran program Kehutanan Sosial di Muara Gembong, 1 November 2017. Dia ingin melaporkan soal proyek Meikarta. Khususnya sikap kerasnya terkait proyek properti tersebut.
Kala itu, sejumlah menteri dan pejabat negara banyak yang mengomentari pembangunan Meikarta. Bahkan, kata dia, beberapa pejabat negara meminta perizinan Meikarta dipercepat.
Deddy Mizwar mengatakan kepada Jokowi bahwa para menteri dan pejabat negara yang mengomentari soal Meikarta seperti bermain bola liar. Padahal, Deddy mengatakan ada beberapa persoalan di lapangan sehingga Meikarta belum mendapat izin.
Salah satunya adalah surat rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat. Sebab, kata Deddy Mizwar, RTRW Jawa Barat tentang kawasan metropolitan menempatkan areal proyek Meikarta berada di kawasan strategis provinsi. Kabupaten Bekasi saat yang sama juga tengah mengusulkan revisi RDTR Kabupaten Bekasi untuk memasukkan rencana proyek properti tersebut dalam tata ruangnya.
Proyek Meikarta yang disebut-sebut menempati lahan lebih dari 700 hektare, tapi kenyataannya baru mengantungi IPPT yang diterbitkan Kabupaten Bekasi seluas 84,6 hektare. “Ini kasusnya sudah nasional, bahkan melibatkan internasional, masuk Bursa Hongkong kan, jadi saya meminta pandangan Bapak (Presiden), sebab saya engggak mungkin bisa mengubah tanpa ada revisi tata ruang, saya bisa masuk penjara,” kata Deddy Mizwar.
Deddy Mizwar mengatakan, di tengah proses pembahasan rekomendasi yang diminta Kabupaten Bekasi, serta usulan revisi RDTR Kabupaten Bekasi, sejumlah pejabat ikut berkomentar. Mayoritas menuding pemprov Jabar menjegal perizinan proyek properti itu.
“Komentar menteri segala macam, enggak saya tanggapin. Langsung saya lapor ke Pak Jokowi. Waktu itu persoalan begini, saya enggak mau suatu saat Bapak berseberangan dengan saya dengan mendapat informasi yang berbeda. Pak Jokowi bilang, ya udah lakukan saja sesuai peruntukan. Diam semua,” kata dia seperti diunduh laman Tempo.
Sebulan kemudian, BKPRD (Badan Koodinasi Penataan Ruang Daerah) Jawa Barat meluluskan pemberian surat rekomendasi untuk proyek Meikarta. Surat Rekomendasi tersebut diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal Dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPTMPTSP) untuk luasan 84,6 hektare.
“Bukan surat izin, tapi Surat Rekomendasi, karena itu masuk ke kawasan strategis provinsi. Jadi bukan izin, bukan perizinan, tapi rekomendasi. Kalau IMB, Amdal, itu urusan kabupaten, kami tidak punya kewenangan,” kata Deddy Mizwar.
Proyek Meikarta menjadi sorotan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan beberapa anak buahnya menjadi tersangka. Mereka diduga menerima suap untuk memuluskan perizinan Meikarta. Juga petinggi hingga staf Lippo Group ditangkap KPK.
Pada Senin (15/10), KPK menetapkan Bupati Bekasi periode 2017-2022, Neneng Hasanah Yasin (NHY) dan Direktur Operasional (DirOps) Lippo Group, Billy Sindoro (BS) sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta. Selain Neneng dan Billy, KPK juga menetapkan tujuh orang lainnya.
Mereka, yakni dua konsultan Lippo Group, Taryadi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), serta Pegawai Lippo Group, Henry Jasmen (HJ). Kemudian, Kepala Dinas PUPR Bekasi, Jamaludin (J), Kepala Dinas Damkar Bekasi, Sahat ?MBJ Nahar (SMN), Kepala Dinas DPMPTSP Bekasi, Dewi Tisnawati (DT) serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi, Neneng Rahmi (NR).
Neneng Hasanah dan anak buahnya diduga menerima hadiah atau janji dari pengusaha terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta . Diduga pemberian terkait izin proyek seluas total 774 ha itu dibagi ke dalam 3 tahap, yaitu tahap pertama 84,6 ha, tahap kedua 252,6 ha dan tahap ketiga 101,5 ha.
Pemberian dalam perkara ini diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp 13 miliar, melalui sejumlah Dinas, yaitu: Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT.
KPK menduga realisasi pemberiaan sampai saat ini adalah sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada bulan April, Mei dan Juni 2018. Keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks.
Megaproyek Meikarta memlliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga tempat pendidikan. Karena itu, dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampat, hingga Iahan makam.
Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Billy, Taryadi, Fitra dan Henry Jasmen disangkakan melanggar Pasal? 5 ayat (1) huruf huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara yang diduga menerima suap, Neneng, Jamaludin, Sahat, Dewi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Neneng mendapat pasal tambahan yakni diduga penerima gratifikasi dan disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (R3)