Makasar-Viralkata-com, Indonesia menjadi pusat jangka panjang bagi pengungsi, hidup dalam ketidakpastian tanpa akses keperawatan kesehatan yang komprehensif. Dengan banyak kegagalan untuk menerima perawatan yang diperlukan selama beberapa tahun, implikasi kesehatan terlihat jelas, apalagi dengan pandemi covid – 19 ini, hanya memperburuk keadaan.
Para pengungsi memprotes ketidakpastian hak-hak yang beberapa telah terdampar selama satu dekade, dengan perawatan kesehatan sekarang menjadi agenda utama karena pandemi melanda negara kepulauan. Pada pertengahan Agustus, setidaknya 40 pengungsi Rohingya, bergabung dengan advokat lokal, berkumpul di kantor legislatif untuk menuntut akses yang lebih baik ke perawatan medis. Tanggal 11 Agustus banyak pengungsi menderita sakit parah, beberapa perlu dioperasi, yang lain menderita infeksi atau penyakit kronis.
“Kami ingin pemukiman kembali atau integrasi lokal. Jika tidak, maka kami akan meminta ganti rugi selama bertahun-tahun yang kami habiskan dalam keadaan terlantar seperti pengungsi di Pulau Manus (di Papua Nugini) dan kami akan meninggalkan Indonesia sendiri untuk mencari keselamatan di suatu tempat, ”baca tuntutan mereka.
Kenyataanya pengungsi Rohingya sudah mendapat perhatian dari IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi). IOM membantu pemerintahan untuk mewujudkan politik migrasi mereka, mengkontrol perbatasan dan mengumpulkan data biometris.
Pengungsi yang menuntut hak-haknya merupakan migran gelap yang tidak terdata di Indonesia. Meraka mencari simpati masyarakat khususnya masyarakat Internasional. Selama pandemi pemerintah Indonesia justru sangat memperhatikan kesehatan masyarakat terutama migran-migran lainnya yang ada di Indonesia.
“Indonesia dalam mengantisipasi imigran-imigran gelap lainnya sangat memerlukan pendataan yang ketat, agar tidak menjadi permasalahan di Indonesia.” Kepala BP2MI UPT Makassar, Ujar Mohd. Agus Bustami (2/11/2020).(putri)