Puasa Ramadhan berarti seluruh anggota keluarga seharian menahan diri, mengendalikan hawa nafsu, termasuk tidak makan dan tidak minum mulai terbitnya fajar sampai matahari terbenam selama satu bulan. Tapi mengapa pengeluaran semakin membengkak?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada saat Bulan Ramadhan pengeluaran justru lebih banyak. Penyebabnya bukan hanya karena harga bahan pokok yang melonjak, namun tingkat konsumsi kita di Bulan Ramadhan juga menjadi meningkat.
Mengapa kita selalu berusaha menyediakan segala sesuatunya secara berlebihan? Mengapa kita tidak merasa cukup dengan Ramadhan yang sederhana saja?
Seharian berpuasa menahan haus dan lapar jelang berbuka puasa kita disuguhi pemandangan aneka lauk, jajanan takjil, dan segala macam bentuk minuman di sepanjang jalan. Begitu menggoda sehingga ingin membeli semuanya untuk menghapus lapar dan dahaga. Semua jenis makanan dan minuman kelihatan seperti lebih enak dan menarik dari hari biasanya.
Saat suara adzan berkumandang meja makan telah penuh dengan aneka hidangan yang semua ingin kita makan. Mengapa kita bisa menjadi seperti itu? Apakah situasi puasa sekarang sudah bergeser menjadikan ibadah menjadi bagian dari ritual saja?
Padahal di bulan lain selain Bulan Ramadhan biasanya makanan dan minuman satu atau dua jenis saja sudah cukup. Lalu mengapa pada saat Bulan Ramadhan tampaknya kita telah berubah menjadi orang yang seolah tidak pernah makan? Buka puasa minum es teh, kolak pisang, es buah, apem kuah, dan aneka takjil lainnya. Setelah itu makan nasi dengan bermacam lauk pauk mulai dari olahan ayam, daging sapi, ikan laut, tahu, tempe, sayur, mie, bakso, dan lain-lain. Setelah itu masih ditutup dengan buah, puding, kurma dan lain sebagainya.
Akhirnya karena terlalu kenyang malas untuk sholat tarawih. Berangkat ke masjid untuk sholat tarawih dengan terpaksa karena merasa tidak enak sama yang lainnya. Sepulang sholat tarawih membaca Ai Quran hanya sebentar karena terburu ingin ngemil.
Begitulah jangankan menahan nafsu untuk tidak berlebihan atau ikut merasakan sekaligus melatih empati kepada orang yang tidak mampu dengan ikut merasakan lapar dan dahaga seperti mereka, yang ada justru puasa membuat kita lupa bagaimana rasanya lapar.
Semakin mendekati Syawal pengeluaran pun semakin membengkak. Kita sibuk mempersiapkan aneka kue lebaran yang tidak cukup dua atau tiga macam saja jenisnya. Bikin pentol bakso minimal satu kilo. Beli aneka toples yang cantik-cantik walaupun toples lama masih layak pakai. Berburu baju lebaran dari satu toko ke toko lainnya. Bingung menyiapkan oleh-oleh untuk dibawa mudik. Isi dompet dan tabungan pun terkuras habis. Kalau sudah kelelahan puasa pun kita korbankan. Padahal keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah yang teristimewa. Kalau sudah seperti ini kemenangan seperti apa yang kita harapkan?
Ramadhan memang bulan istimewa yang patut disambut dengan suka cita. Namun kita sering salah kaprah menyambutnya dengan suka cita yang penuh foya-foya. Bulan yang seharusnya kita penuhi dengan ibadah dan menabung bekal akhirat malah kita isi dengan segala kesibukan yang bersifat duniawi.
Di indonesia hal ini seolah menjadi tradisi yang mendarah daging bahkan turun temurun. Kemeriahan menyambut Ramadhan yang kadang berlebihan diangggap wajar saja. Dengan berdalih,” Ah, Ramadhan khan hanya setahun sekali.” Akhirnya kadang dengan segala cara dilakukan untuk mendapat uang lebih demi memenuhi hasrat yang berlebihan di Bulan Ramadhan.
Padahal Rasulullah SAW yang hidupnya sangat bersahaja amat tidak menyukai segala sesuatu yang berlebihan. Beliau tidak pernah makan sampai kekenyangan, berbuka puasapun cukup dengan kurma dan segelas air. Beliau yang sudah dijamin masuk surga, saat Ramadhan malah semakin giat beribadah.
Lantas mengapa kita menjalankan ibadah puasa dengan hingar bingar? Foya-foya. Kedamaian yang telah berganti dengan kehirukpikukan yang tak bisa dibendung. Dan kita hanyut larut, menyerah pada keadaan.
Tampaknya bukan Bulan Ramadhan yang berubah tapi kita sendirilah yang berubah. Kita berubah menjadi orang berlebihan padahal salah satu esensi dari berpuasa adalah melatih berempati pada orang yang tidak mampu dan ikut merasakan lapar dan dahaga mereka. Puasa tampaknya telah membuat kita kalap, gelap mata, mengumpulkan segala jenis makanan dan minuman yang harus siap di atas meja makan sebelum jam lima.
Antara tradisi, kebiasaan umum, dan teladan dari Rasulullah semestinya kita bisa memilah mana yang paling tepat kita terapkan. Pada akhirnya kita kembali pada klise tentang hidup bahwa ini adalah tentang pilihan masing-masing. Akan tetapi yang harus kita ingat bahwa yang berhak menentukan puasa kita diterima atau tidak, berhasil atau tidak, lulus atau tidak hanya Tuhan, bukan yang lain.
Seperti halnya makna puasa yang mengajarkan kita untuk mengekang hawa nafsu dan hal-hal yang bersifat duniawi, secara keseluruhan Ramadhan pun menjadi momentum yang indah untuk belajar hidup sederhana dan bersahaja.
Yuk kita evaluasi lagi apa tujuan Ramadhan kita.