ENTERTAINMENTFOTOHEADLINEINFOTAINMENTNASIONALNEWS
Didi Kempot: Tentang Rasa Perih Luka Hati
Oleh : Bambang Asrini Widjanarko- Kurator Seni Kontemporer.
JAKARTA-VIRALKATA.COM : Kematian seniman pelantun lagu Campursari, Didi Kempot, membalurkan rasa perih personal pun komunal, tak hanya orang Jawa.
Perasaan sejenis lumrah menyembul saat-saat ini, apalagi Didi Kempot mengingatkan soal luka hati berlarat-larat.
Ia mendekatkan sesiapa saja, mewariskan kenangan cukup kuat dengan mudah. Diimbangi citarasa lagu “melodius yang mendayu-dayu” dan komposisi yang gampang dicerna.
Tema-tema lagunya mengaduk-aduk hati, membuat “sakit tak terperi yang tak mati-mati’, dan secara sukarela pengagumnya bepergian “kekedalaman patah hati”.
Konser-konsernya tahun lalu dan kehebohan jagat media sosial menjadikannya mega bintang, yang menghilangkan kendala bahasa (Jawa).
Ia berulang membuat “hancur-hati”, usai akhir 90-an tenar, sekarang dijuluki Sang Maharaja Patah Hati; dan para milenial menangis-tertawa berjoget bersamanya. Heboh diluar panggung dan di dalam panggung Studio TV.
Didi Kempot kemudian wafat, purna sebagai manusia, namun ia bisa jadi tak hanya mewariskan syair-syair pedih. Tapi soal lain, mungkin mengulik kesakitan karena diingkari janji, tuntutan keadilan atau malahan kesenjangan sosial?
Sebuah kondisi yang tak hanya personal, tapi suasana “luka sosial”.
Mari kita berhulu pada rasa dulu, yang para fans fanatiknya memanifestasikan kondisi batin yang gundah-gulana itu sebagai Ambyar, remuk berkeping-keping.
Coba kita cermati, utamanya 3 lagu paling fenomenal, beberapa cuplikan syair, yang pertama ini, lagu Ambyar:
Wis kebacut Ambyar
Remuk sing neng ati
Opo ngene iki
Sing jenenge korban janji
….
Ning ngopo kowe lungo
Nyikso aku koyo ngene
Orang-orang Jawa kebanyakan memahami kata Ambyar, adalah kondisi kerusakan sebuah benda. Sebagai rasa, menjadikannya sanepo, metafora tersembunyi yang boleh ditafsir kondisi terpaan hebat orang yang dilanda bertepuk sebelah tangan (cinta), tapi bisa juga mereka yang nihil harapan, lelah pun lungkrah menjalani hidup tanpa kepastian, yang dulunya diiming-imingi janji. Entahlah…mungkin janji politik?
Kita bisa tilik lagu Cidro, yang ke-2, yang cukup mengena dalam konteks kesenjangan sosial. Silakan dilihat:
Gek opo salah awakku iki
Kowe nganti tego blenjani janji
Opo mergo kahanan uripku iki
Mlarat bondo seje karo uripmu?
Bukan sakit fisik, atau kematian raga yang meremukkan, tapi Didi Kempot selama hidup bisa saja menitipkan ketakberdayaan orang-orang kecil, yang tak bisa meraih harapan-harapan, mungkin? Kalau menurut cerita, Didi Kempot menyukai merekam lagu-lagu barunya di studio2 kecil di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Operatornya, jika tak ada order rekaman, memilih bertani.
Dudu klambi anyar
Sing neng njero lemariku
Nanging bojo anyar
Sing mbok pamerke neng aku
Seperti cuplikan syair lagu ke-3 (terakhir), Pamer Bojo Anyar diatas, kegetiran disodorkan dengan sebuah strategi tuturan: lagi-lagi membenturkan benda/ objek mati dengan mengandaikan asosiasi-nya dengan mahluk hidup, dengan membayangkan akan kepemilikan paling berharga, sang kekasih hati digadaikan…oalah, Nasib.
Tapi, Didi Kempot juga menyentuh dengan cara lain. Menggambarkan nasib manusia yang acapkali ringkih pada rasa sakit. Ia memintalnya dengan isyarat-isyarat gugatan yang diredam justru oleh dirinya sendiri. Sebagai sebentuk peneriman, nerimo. Khas orang Jawa.
Seorang psikiatris, Elizabeth Kubler Ross; dengan buku On Death and Dying, meneliti orang-orang dalam konsisi sekarat secara klinis, dengan memahami gejala-gejala seperti fase-fase tertentu. Sebuah sikap penolakan pada awalnya.
Abai kondisi kritis karena mengidap penyakit berat, seterusnya marah, dengan misalnya menyalahkan sistem perawatan dan akhirnya tiba pada fase separuh berharap akan sembuh atau sebaliknya menjadi depresi, karena memikirkan kondisi menyakitkan menjelang mati, yang akhirnya bermuara pada kepasrahan.
Kondisi itu semacam sebuah pencerahan spiritual dengan memeluk setiap kemungkinan apapun yang menimpa.
Didi Kempot, dengan indah, mungkin merangkai —boleh kita tafsirkan dengan yang lain —“tragiknya rasa sakit” itu dengan memberi fase-fase yang disebut Elizabeth Kubler Ross dengan mencapai pendakian pada titik terakhir, yakni: Ihklas. Rasa perih itu berangsur-angsur ambyar seketika.
Kita tak akan pernah lagi mendengar syair-syair baru yang merana tak terperi lagi, tapi yang pasti ada banyak generasi yang membawa rasa perih itu dengan cara Didi Kempot bersenandung dengan lagu-lagu Campursari yang lain.
Sugeng Tindak Mas Didi, umpamane kowe wis mulyo (nang Swargo), lilo aku lilo …
Jagakarsa, 5 Mei 2020